Minggu, 11 Mei 2008

Persoalan Pendidikan yang Belum Terselesaikan

Penulis: Akhwani Subkhi

Auditorium Utama, UINJKT Online – Persoalan pendidikan di Indonesia, kian hari kian kompleks. Setidaknya terdapat empat persoalan utama dalam pendidikan nasional di negeri ini. Keempat masalah tersebut adalah akses dan pemerataan pendidikan masih belum maksimal, mutu pendidikan masih rendah, manajemen pendidikan (tata kelola dan good governence) yang kurang baik, dan tidak adanya relevansi pendidikan dengan dunia kerja.

Pernyataan tersebut diungkapkan dosen Universitas Negeri Jakarta, Dr Urifah Rosyidi M.Pd, saat menjadi pembicara Seminar Nasional Pendidikan bertema "Menuju Pendidikan yang Mandiri dan Bermartabat di Tengah Tuntutan Globalisasi", yang digelar di Auditorium Utama pada (4/5). Acara ini dilaksanakan oleh Yayasan Aldiana Nusantara bekerjasama dengan LSM Pandu Pendidikan Indonesia.

"Hingga kini keempat persoalan tersebut belum dapat diatasi," tegasnya. Selain memaparkan persoalan utama pendidikan, dia memaparkan pula tantangan mutu pendidikan. Tantangan tersebut menurut dia adalah program pendidikan berorientasi pada proyek, koordinasi antar lembaga lemah, rendahnya kemampuan SDM dan komitmen birokrasi, dan anggaran pendidikan yang tidak sesuai amanat UUD.

Dia menjelaskan bahwa orientasi dasar pedagogis adalah memanusiakan manusia, memerdekakan anak didik dari belenggu, bisa menghargai perbedaan, dan bisa bersikap demokratis.

"Standarisasi kompetensi dan efesiensi seperti Ujian Nasional, Badan Hukum Pendidikan, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan terminologi industri yang sedang merajai dunia pendidikan saat ini dan dipandang telah mereduksi makna kemanusiaan dan tujuan utama pendidikan," papar perempuan yang kini menjabat sebagai salah seorang Pengurus Besar PGRI.

Selain itu, dia bicara pula tentang kecakapan hidup. Menurut dia kecakapan hidup adalah sesuatu yang tangible dan intangible. "Pengertian kecakapan hidup yang diberikan oleh pemerintah sangat terbatas," kritiknya. Jenis kecakapan hidup, imbuhnya, seperti kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, kecakapan vocasional, dan kecakapan personal dan sosial.

Dia menjelaskan, pengukuran kecakapan hidup ini bisa dilakukan, misalnya, pada kecakapan vocasional diukur dari penguasaan kompetensi bidang yang spesifik. Sedangkan pada kecakapan akademik diukur dari kesadaran dan variasi daya fisiknya, kritis, dan lainnya.

Sementara itu, Guru Besar FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof Dr Agus Suradika yang menjadi pembicara kedua lebih fokus memaparkan mengenai implementasi kebijakan sertifikasi guru, misalnya tahun 2007. Menurut Agus sertifikasi tahun 2007 memiliki tiga kelemahan yaitu pilih kasih, adanya pemalsuan dokumen, dan keterlambatan pemberian tunjangan.

"Di lapangan ada guru yang sudah lama mengajar tapi belum disertifikasi, sebaliknya ada guru yang waktu mengajarnya belum lama tapi sudah disertifikasi," papar Agus. Dalam pelaksanaan sertifikasi menurutnya diperlukan kejujuran dari pihak terkait.

Melihat masih adanya permasalahan dalam pelaksanaan sertifikasi, Agus menawarkan usulan perbaikan. Pertama, secara kelembagaan agar PGRI menjadi aktor utama dalam pemberian sertifikasi guru. Kedua, perbaikan dan pengembangan instrumen sertifikasi bukan hanya pada portofolio. Ketiga, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh menjadi kendala.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://bali-nusa-tenggara.infogue.com/persoalan_pendidikan_yang_belum_terselesaikan

AKHWANI POENYA mengatakan...

Ok. tHanks yA!!!