Guru Harus Kualified dan Mengenali Potensi Anak Didik
Penulis: Akhwani Subkhi
Auditorium Utama, UINJKT Online - Untuk mewujudkan kecerdasan anak didik, seorang guru harus memiliki kualifikasi, diantaranya kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Selain itu, guru dalam menjalankan tugasnya diharapkan berorientasi pada siswa, dinamis, dan demokratis. Demikian pernyataan tokoh pendidikan nasional, Prof Dr Arief Rahman, ketika menjadi narasumber dalam Seminar Nasional Pendidikan bertema "Menuju Pendidikan yang Mandiri dan Bermartabat di Tengah Tuntutan Globalisasi", yang digelar Yayasan Aldiana Nusantara bekerjasama dengan LSM Pandu Pendidikan Indonesia, di Auditorium Utama, Minggu (4/5).
Menurut Arief, seorang guru harus mengenali ragam potensi kecerdasan anak didiknya. "Potensi kecerdasan anak didik sangat bervariasi seperti potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, dan potensi jasmani," papar dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO ini, memaparkan pula tentang indikator kesuksesan pendidikan. Menurut dia, sukses pendidikan ada lima yaitu apabila anak didik bertakwa, berkepribadian matang, berilmu mutakhir dan berprestasi, punya rasa kebangsaan, dan berwawasan global. "Proses mencapai sukses tersebut didukung oleh peran orang tua, pola asuh, peran guru, dan guru kreatif," jelasnya. Dia menambahkan, ada segi tiga kerjasama keberhasilan pendidikan yaitu anak, orang tua, dan sekolah.
Hadir pula dalam sesi ini sebagai pembicara anggota BSNP Depdiknas Prof Dr Yunan Yusuf, Guru Besar FITK Prof Dr Abuddin Nata, dan Dirjen Bimas Islam Depag RI Prof Dr Nasarudin Umar.
Yunan Yusuf berbicara mengenai upaya meningkatkan perbaikan kualitas dan kesejahteraan guru. Menurut Yunan, dalam melaksanakan tugas profesionalnya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. "Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum mencakup gaji pokok (tunjangan yang melekat pada gaji), tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan," jelas mantan Dekan FDK UIN Jakarta.
Sementara itu, Abuddin Nata memaparkan peran pemerintah dalam melaksanakan program pendidikan kecakapan hidup yang bermutu demi pemberantasan pengangguran. Menurut Abuddin, pengangguran muncul dikarenakan berbagai faktor/penyebab, diantaranya program pendidikan yang kurang match dengan tuntutan dunia usaha dan industri, sikap mental dan etos kerja pencari kerja yang relative rendah, budaya masyarakat yang kurang mendukung kerja keras, dan tidak seimbangnya jumlah pencari kerja dengan lapangan kerja yang tersedia.
"Di antara cara yang bisa ditempuh untuk mengatasinya yaitu perlu menjalin kerjasama dan kemitraan antara lembaga pendidikan dengan dunia industri/perusahaan, baik jasa atau lainnya, misalnya, dengan kegiatan magang," ungkap mantan Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UIN Jakarta. Selain itu, lanjut dia, perlu pula mengembangkan model pembelajaran yang berpusat pada siswa, menggali bakat, minat, dan kecenderungan serta mengembangkannya secara aktual, misalnya, progressive learning, problem based learning, learning by doing, dan sebagainya.
Sedangkan Nasarudin Umar yang menjadi pembicara terakhir memaparkan pengalaman pendidikan anaknya ketika belajar di Washington, Amerika Serikat. Dia mengungkapkan sistem pembelajaran di sana lebih banyak di luar kelas dan melatih kemandirian.. "Belajar di luar kelas atau learning by doing lebih efektif dibandingkan belajar di dalam kelas," ungkapnya.
Dia berharap agar sekolah seyogyanya bisa menjadi faktor utama dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, bukan laingkungan yang mempengaruhinya. Selain itu, dia juga mengungkapkan agar sekolah mampu melatih anak didiknya untuk mandiri. "Kemandirian anak sangat penting bukan hanya intelektual, tapi pula mental. Kemandirian harus dimulai sejak kecil, misalnya, ketika duduk di Taman Kanak-kanak," harapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar